Menulis, Tradisi Para Ulama


Saat masih di pesantren, saya seringkali membeli beberapa kitab "kuning" meskipun saya sendiri tidak mahir  membacanya. Ada beberapa diantaranya yang digunakan sebagai bahan mengaji dengan cara "sorogan" dan ada juga dengan cara "nyoret". Ada kebanggaan tersendiri memiliki kitab-kitab "kuning" itu, dan sekarang masih saya simpan dalam berbagai judul disiplin ilmu agama.



Namun, ada rasa penyesalan karena tidak sampai berlanjut "mesantrennya" dan sekarang tidak mampu membacanya dengan baik kitab-kitab itu. Sesekali ada keinginan untuk "ngelmu" lagi dan memahami  Bahasa Arab agar bisa membaca kitab-kitab yang saya simpan itu untuk diketahui dan dipahami isinya. Tapi, keadaaan telah berubah tidak seperti dulu lagi saat di pesantren, kesempatan tidak datang dua kali, skarang perlu extra keras dan sunggu-sungguh untuk memulainya.

Baiklah, sebelum saya lanjut ke pokok pembicaraan ada pelajaran dan hikmah yang bisa diambil dari cuplikan cerita diatas, sebagai refleksi akhir tahun saya ingin berpesan untuk siswa-siswi saya yang tercinta dan anda para pelajar dan mahasiswa, bahwa kesempatan yang saat ini anda raih adalah pintu kesuksesan anda di masa depan. Tidak peduli anda saat ini seperti apa tapi bila kalian sungguh-sungguh memanfaatkan ksempatan saat ini dengan baik dan penuh tanggung jawab maka kalian tidak perlu menyesal diakhir nanti. Akan tetapi sebaliknya, bila saat ini kalian lalai dan mengisi kesempatan dengan penuh canda dan gurauan maka tak seorang pun akan mendapatkan kesuksesan dan kebahagian dengan cara menyia-nyia kan waktu dan kesempatan yang telah Allah berikan.

Dalam kisah-kisah para sahabat dan salafus shaleh, bisa dilihat bahwa kebanyakan mereka adalah orang-orang yang penuh dengan semangat dan kesunguh-sungguhan dalam belajar dan memanfaatkan waktunya. Dan hasilnya, karya-karya mereka telah mewarnai peradaban umat manusia dari masa-kemasa. Seperti Imam Gozali dengan Ihya Ulumudiinnya, Ibnu Sina dengan Qonun Fi Thibnya, dan para ulama imam madzhab, Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi'i  dan Imam Hambali, dengan kitab-kitab karangannya dalam berbagai disiplin ilmu agama, dan masih banyak lagi yang lainnya. Mereka tetap hidup dengan karya-karya keilmuannya yang mereka tulis

Bisa kita bayangkan aktifitas keseharian mereka dalam menuliskan ilmunya sehingga menjadi karya yang sangat besar dan dibaca orang di segenap penjuru dari masa ke masa. Andaikan saja mereka tidak mau menuliskan ilmunya maka akankah peradaban dunia seperti sekarang ini? Menulis telah menjadi tradisi dan bagian hidup para ulama. Mereka paham benar dengan tanggung jawab apa yang mereka pikul dengan keilmuan yang diraihnya. Allah telah memberikan karunia nikmat yang besar dengan ilmu itu, maka bukan saja mereka bersyukur dengan mengajarkan ilmu itu tapi dengan keasyikan dan rasa nikmatnya ilmu, mereka juga menuliskannya.

Ya! Dari kitab-kitab "kuning" yang saya simpan itu, saya sempat berfikir "bagaimana mereka bisa menuliskan ilmunya itu sehingga menjadi sebuah kitab yang tersusun rapi dan sistematis?". Saya masih ingat saat dulu ustadz saya mengajarkan beberapa kitab, diantaranya  "IsyaGozi" yang ternyata setelah saya kuliah diketahui itu adalah Ilmu Logika yang luar biasa (maaf kalau salah nulisnya). Kitab itu lebih luas dan mendalam pembahasannya dari ilmu mantiq yang saya dapat di perkuliahan. Tapi, waktu ngaji dulu saya belum "ngeh" karena baru bisa "masang" telinga saja ngajinya... he...he...he...

Saya tidak bisa menjawab pertanya tadi, tapi saya coba simpulkan bahwa menulis adalah sebuah tradisi keilmuan para ulama yang harus kita teladani sehingga dari kitab-kitab (tulisan) karangan para ulama itu sampai saat ini kita bisa mendapatkan ilmu mereka. Tidak ada seorang ulama besar pun di dunia ini yang tidak menuliskan ilmunya. Menulis telah menjadi bagian keseharian mereka sebagai wujud rasa syukur dan tanggung jawab menyebarkan ilmu, bukan untuk kenaikan pangkat/jabatan atau mendapatkan royalti. Bagaimana dengan kita, adakah keinginan untuk menuliskan ilmu yang kita dapat?

Bukankah Rasul mengatakan "Sampaikan dari padaku walau hanya satu ayat". Jadi tidak peduli tingkat keilmuan kita seberapa dengan menulis ilmu itu akan lestari dan akan dibaca orang sehingga bisa diambil manfaatnya. Bagaimana, masih berfikir apa yang mau ditulis? Jangan bingung menulis saja... Seperti para ulama besar menuliskan ilmunya. Tidak ada yang membatasi...Kecuali hanya karena Allah semata.


Agus Sadikin, S.Ag, adalah guru di SDIT Al-Izzah Serang, Wali Kelas 6 Ibnu Qoyyim dan mengajar pada bidang studi Pendidikan Agama Islam kelas 3 dan 6. Tulisan di atas merupakan salah satu tulisannya yang ia publis di blog pribadinya, dan ia postingkan juga untuk blog SDIT Al-Izzah ini.  

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Menulis, Tradisi Para Ulama"

Posting Komentar

Terimakasih, Anda telah berkunjung di Blog SDIT Al-Izzah Serang. Silahkan memberikan komentar atau hanya sekedar kesan dan pesan dengan mengisi Buku Tamu, Insya Allah akan sangat bermanfaat bagi kami.